Kamis, 24 Maret 2011

Cinta Seteguk Kopi

oleh Harry Suryo pada 05 April 2010 jam 20:53
Sewaktu jiwaku bersandar pada pantai 
kutebar jala dukaku ke lautan 
yang menyurutkan ombak matamu... 
karenanya kumenyapamu dengan segala hormatku, tanpa sanjungan yang melenakan kalbu.
Bidadariku, jangan benamkan muka pada matahari, 
bukankah rembulan lebih lembut 
dan bintang dengan kerling menantang.

Bidadariku, betapapun jauh perjalanan ini 
nafasku masih kuat beribu hela 
dan betapapun tinggi pendakian nanti, 
jantungku masih kuat berjuta detak, 
tapi untuk sebuah padang bunga di hatimu tak juga mudah kulewati.
  Bidadariku, jangan biarkan anganku berlari, 
angkatlah muka, sebuah danau menawarkan diri 
untuk kau renangi dan untuk kau jamah dengan kelembutan hati. 
Kuketuk pintu itu, dan kau buka. 
Ada sisa cahaya, meski hanya setengah batang lilin yang kau pegang. 

Bidadariku, di luar dingin merasuk tulang gelap jelaga malam, 
biarkan kumasuk dan hidupkan api tungkumu 
agar tercipta kehangatan dalam rumahmu.

Bidadariku. biarkan kuseduh kopi untuk kehangatan malam ini. 
Cobalah kau minum, dan reguklah. 
Maka jiwaku akan mengikuti kemanapun air kopi berlari, 
menari, menuju dermaga batinmu.
Bidadariku, apakah senyummu sebuah jawaban 
dan binar matamu sebuah penerimaan?


_______________



Notte in Toscana

oleh Harry Suryo pada 10 Januari 2011 jam 20:35

Menganyam malam tak perlu dengan seribu kunang
Cukup pendar lampu temaram
dan lilin yang bergeliat binar,
meja kayu dan setangkai mawar,
menghangatkan tinggalan hujan.

Hot cappuccino, Filletto Di Vitello gusto Italiano.
Nuansa batu.
Sudut Toscana dan kian terlena,
terbius lembut denting piano
lagu "Volare" , suara serak basah penyanyi ramah.

Satu batu bata tersusun sudah.


@Kemang, Jakarta.




_______________


Oleh Harry Suryo · 10 Januari 2011


Menikmati angin di ketiak musim
keringat aspal dan basah sisa hujan
menyambangi kehidupan malam.
Hangatnya kopi pahit di ujung jalan
tetap saja Dago terasa dangkal dan muram.

Cengkeram bulan pada lampu jalan,
semakin sepi menghampiri
hari tak berdenting
meski aku tetap bernyanyi untuk sebuah mimpi

Cipaganti, Bandung (-HS)




_______________

Kemang di ujung malam

oleh Harry Suryo pada 11 Juni 2010 jam 11:50



Sepanjang Kemang di ujung malam
menjilati pijar lampu belantara cafe
dan keringat jalan sisa hujan
berakhir di lantai batu
aku ada di situ...

Dinding batu sedikit traso
Toscana resto
hot cappuccino,
denting piano
dan suara berat penyanyi
berjilbab ungu
tanpa geliat molek aroma nafsu
aku ada di situ...

terbius romantisme cahaya lilin dan mawar merah di mejaku
menikmati rindu bersama cintaku.


______________________________________________________________________

Rembulan malu di bukit Moko

oleh Harry Suryo pada 01 Juni 2010 jam 15:44




Belukar ilalang bukannya hamparan edelweis
namun tetap saja
tanjakan Padasuka menggeliat manis
dalam erotisme Tangkuban Perahu
dan aroma malam Cimenyan yang romantis.

Gemerlap lautan Citylight
dan kerlingan genit bintang-bintang di langit
aku di atas Bandung Timur
dengan angin sembarang lalu
tak hanya itu
aroma kopi susu dan hangatnya api di tungku
aku duduk di atas kursi batu
pada malam yang kian mendayu
dan awan pun cuma sepenggal waktu,
tapi mengapa rembulan masih saja malu?


Moko daweung, the highest peak in east Bandung.








_______________

Ik hou van je, mijn minnaar.

oleh Harry Suryo pada 02 Mei 2010 jam 20:36




Waktumu ini apalah sayangku,
bila kita tidak meresapinya dengan hati.
Perjalanan yang jauh ini apalah sayangku,
bila kita tidak bisa mengikutinya dengan
kesabaran dan keikhlasan diri.

Semua tak nampak berharga
bagi orang yang kehilangan apa-apa.
Semua tak nampak bahagia
bagi orang yang berjauhan ikatan jiwa.

Tapi hari ini betapa indahnya,
karena kita menikmatinya dengan
sebuah cinta dan ketulusan
dari berbagai makna
menjadi satu makna.







_______________



From Papua With Love

oleh Harry Suryo pada 24 April 2010 jam 14:20




Dari tanah gersang barat Papua
kutemukan sosok pualam
meski lewat udara dan cahaya malam
kutemui dirimu dalam hembusan angin
tanpa raga tanpa suara.
Semua jelas dan nyata,
seakan dirimu bukanlah maya.

Dan sejenak ku tak peduli
pada waktu yang tersisa kini
bukan alasan untuk membuatmu nyata
tapi sebuah ketulusan cinta
yang membuatku harus menanti
dengan segenap rinduku
yang terlalu naif bila masih tanda tanya,
tapi sebuah misteri
yang membuatku harus begini
bahwa aku mencintaimu setulus hati.

Sampai ketemu di tempat penantian.

 




_______________


Love in Harmony

oleh Harry Suryo pada 20 April 2010 jam 21:34


Laguku bukanlah rangkaian seloka lama
yang menghanyut menghiba manja,
sebab dialah mewakili sukma
yang membuka hutan-hutan ilalang
jadi ladang-ladang berbunga

Laguku bukan juga untaian tanda cinta
yang sekedar menghias ruang rinduku
yang kemudian begitu saja hilang berlalu
setelah usai nada, heninglah suasana.

Nada mesra bukan saja milik orang tua kita,
sebab dia memberi kesempatan sama pada kita,
dan kitapun bisa,
bila melakukannya dengan segenap jiwa
dan ketulusan cinta.

Karena anak sungai yang terbendung
airnya akan berbelok arah
mencari kemana tanah-tanah basah
yang kemudian menuju muaranya
dalam sebuah harmoni
yang kita ciptakan sendiri.






_______________

Lagu Angsa

oleh Harry Suryo pada 17 April 2010 jam 9:30




Pagi ini bukan cuma milikku sayang
tapi juga milikmu.
Aku yang merasa tertidur
kini terhenyak dari mimpi-mimpi
yang berlari kesana kemari.

Telaga itu kini bukan cuma milikku sayang
tapi juga milikmu yang pantas untuk kau renangi
karena kau hadir bersama pelangi
yang sekian lama tak pernah melengkapi telaga ini.

Lagu itu kini tak kunyanyikan sendiri lagi sayang
karena bersamamu bisa berpadu dalam satu harmoni
yang membuat kita saling mengerti
bahwa semua itu penuh misteri
dan kita tak perlu tahu itu
biarlah sang waktu mengalir mendayu
sampai kusandarkan rinduku di mimpimu.

Semarang, 17 April 2010

 

_______________


Seteduh Tanjung Wangi

oleh Harry Suryo pada 15 April 2010 jam 19:08

Hai, Nona, sejauh mata memandang, hendak kemana?
sendirian berpijak tanah berpasir hitam,
berjalan tegak, cantik anggun berlenggang
seteduh tanjung, harumnya dimana?
sedang aku belum mencium baunya.
Hai, Nona berbaju biru langit, hendak kemana?
di sana mendung berangin,
dan hujan deras ketika berayun musim,
sedang perahu belum melaju
kainpun masih basah belum mengering,
-bilakah hela nafasku meniupnya,
agar segera bisa kau pakai?
Hai, Nona bergincu pelangi, hendak kemana?
rambut bersisir rapi tanpa ronce melati.
Mengapa harus menepi,
kalau jalan masih panjang dan sepi.
Mengapa harus lari,
kalau malam tak berkaki,
sedang aku masih di sini.


_______________



oleh Harry Suryo pada 14 April 2010 jam 19:28


Mengapa sayapku tak juga patah
meski hempasan angin barat
menamparku lepas ke ujung awan
dan jatuh di batas pantai,
pasir pucat dan tetap berdiri tegak
dalam kesendirian.

dan memang sayapku tak pernah patah
pada setiap gelombang
pada setiap karang
pada setiap kucari getaran yang seimbang
...dan itu tanpa senyuman semu
meski hanyut dalam putaran waktu,

dan setidaknya pada perahu yang sama
... ternyata itu tiba-tiba
aku tak tahu
kamu tak tahu;
dimana nakhodanya?
apalagi sebuah dermaga,
namun kita coba berlayar bersama
dengan mengikuti arah haluan
dan pasang surutnya sebuah lautan.

 

_______________



Selamat Tinggal Pelangi

oleh Harry Suryo pada 09 April 2010 jam 23:50


Ternyata hujan datang tak semudah kukira,
tidak pandang musim, tidak pandang janji
hingga kita tak tahu :
kapan tanah basah,
kapan pohon meranggas,
kemudian air tak bisa lalu,

dan biarlah air sungaiku berubah arah,
karena tak kulihat lambaian muaramu,
karena tak kurasakan hangatnya senyummu,
karena tak kutemui sejuknya linang embunmu
... dan ternyata ketulusan memang bisa jadi kekeliruan
bila saja aku salah tempat dan waktu.
Selamat tinggal Pelangi,
biarlah aku menghilang lagi.






_______________




oleh Harry Suryo pada 02 April 2010 jam 15:52





Teratai ini bukan tulip yang dulu sayang,
hanya rumputnya yang masih sama.
Warna telaga pun masih hijau sayang,
hanya pelanginya yang berbeda.
Sepasang angsa entah kemana.
Meninggalkan luka atau bahagia?

Jalan setapak ini masih sama, sayang
waktu kugandeng tanganmu melewatinya semalaman,
karena engkaulah angsa yang tak bisa
menyusuri kolam dengan kesendirian,
bukannya merpati yang terbang
sekedar mencari kebebasan
pada hembusan angin selatan.

Pohon cemara itu masih teduh sayang,
seteduh kenangan yang masih selalu kau simpan.
Ini bukannya suatu kerapuhan, sayang,
tapi kesetiaanmu menggenggam satu harapan.
Aku pasti kembali usai musim berganti.

Dekaplah hangat mimpimu sayang,
jangan ragu,
sebab di dalamnya aku bernyanyi untukmu...
di setiap dimensi waktu,




_______________


Apalah itu...
oleh 'Harry Soerjo' pada 13 Juni 2010 jam 11:33

Di ujung waktuku tak kutemui senjaku
biar cakrawala pudar
dan bianglala melengkung bagai pusar
tak nyenyakkah. atau sekedar resah
menunggu malam atau
menyongsong pagi tanpa mimpi

berkaca pada ombak
tanpa buihnya tanpa pasir pantainya
atau laut tak punya tepi
sedang cerminku telah lama retak
tapi cinta tak harus sampai di sini
atau kesendirianku kubawa mati

bukan hanya itu,
penantianku hanya semu
karena aku tidak bisa memutar-balikkan waktu.
Apalah itu...

Related Post



Tidak ada komentar: