Kamis, 31 Maret 2011

Sesederhanakah itu Cinta?





Sesederhanakah itu cinta?
untuk singgah dan selamanya indah
ataukah berlabuh dan kemudian rapuh?
...biarkanlah saja dia seperti angin
yang tiap waktu bisa berlari
mengikuti bukit-bukit dan pucuk daun cemara.
...biarkanlah dia seperti air yang mengalir
yang setiap saat merayap mencari tanah basah
dan dimana muara ada.
...biarkanlah dia berjalan apa adanya
seperti putihnya awan.


Harry Suryo, 31 Maret 2011

Aku Ingin ( Sapardi Djoko Damono Poem )

Negeri Para Bedebah ~ Adhie M. Massardi

Rendra-ITB, 1977

Biru


...bukankah dunia akan meratapimu, bahkan menangis
meski dia tidak tahu betapa birumu
merapuhkan sebentuk hati saat engkau tertinggal
dalam kesendirian itu.
...bukankah keindahan itu serasa tidak akan pernah berakhir
ketika engkau mampu menikmatinya
dan melupakan segala tempat dan waktu
demi kebahagiaan itu,
meski engkau sendiri tak tahu
betapa semu hidup ini,
dan bisa jadi menghancurkanmu...
...bukankah kesedihan itu membawa kita ini sekedar limbah waktu
dan dunia tahu akan itu,
meski  biru itu tetap ada, dan kita tidak duduk bersamanya,
meski hanya sementara.

-Harry Suryo-31032011

My Sketches

Bintang Jatuh

oleh Harry Suryo pada 05 April 2010 jam 16:40
Sematkan rindu di dadamu,
karena ruang hati sudah menunggu,
dan biarkan mimpi tak ada lagi,
asal kau bisa tersentuh dalam nyataku...


Betapa kumencintaimu,
sejauh ufuk barat merahnya senja,
tapi seberapa jauhkah perjalanan mimpi harus kutempuh,
bila harus menunggu bintang jatuh di lorong jalan Kota Lama?

CHILDREN

oleh Harry Suryo pada 06 Mei 2010 jam 16:12


Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


(Kahlil Gilbran)

Surat Cinta Terakhir - When I really want love.


oleh Harry Suryo pada 21 Juli 2010 jam 10:54




Semarang, 13 November 1984
To : Dear Sheeta,

Entah kenapa, saat kita pertama bertemu, ada getaran tak biasa di hatiku. Kelihatannya sungguh naif, tapi juga tak berlebih.

Aku teringat sore itu, saat berjalan-jalan di pertokoan dekat kompleks rumahku, sebagai penghilang rasa bosan berdiam diri terus di rumah.

Tiba-tiba saja langkahku terhenti di sebuah toko kaset. Serasa ada magnet yg menarikku untuk melihat wajah gadis cantik pemilik toko itu.

Agak ragu2 aku masuk ke toko itu. “Ada yang bisa saya bantu, mas?” sambutmu waktu itu.

“Eeee, ada albumnya Louis Armstrong, mbak?" tanyaku.

"Ada, ada mas, itu di sebelah sana. Monggo pilih sendiri," jawabmu ramah.

Setelah selesai memilih dan membayar, kulihat kamu menghilang ke balik sekat toko warna pink itu. Namun tak berapa lama, kamu menyodorkan bungkusan rapi berisi kaset-kaset yang kupilih tadi.

Kupikir ini hanya ketertarikan sesaat. Tapi nyatanya, pertemuan itu berlanjut, dan berulang-ulang.
Setiap dua hari sekali aku mengunjungi tokomu.
Tidakkah kau merasakan ini suatu kesengajaan dariku?


Memang kita tidak pernah saling bicara lebih, paling hanya dialog rutin seputar kaset-kaset terbaru. Tapi aku merasakan ada getaran juga di dirimu, terutama curian sorot matamu memandangku. Begitu dalam, seakan tanpa hambatan menuju ke pucuk kalbuku.

Aku ingin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya, tapi tidak ada keberanian untuk itu, karena namamu saja baru kutahu setelah kunjunganku ke tujuh.

Hingga akhirnya kutinggalkan kartu namaku, lengkap dengan alamat dan nomor tilponku, dan itu kuletakkan di atas meja kasirmu. Harapanku, agar kamu mau menghubungiku.

Tapi perkiraanku meleset, hingga saat ini kamu belum juga menghubungiku. Ya, barangkali memang kamu tidak merasakan sesuatu hal yang sama dengan diriku.

Tapi tidak mengapa, mungkin justru kamu menganggap ini suatu keanehan pada diriku, karena secepat itu aku meyatakan perasaanku, sedang kita belum saling mengenal bukan?

Dear Sheeta, kita tidak akan tahu dan tidak akan pernah tahu, kapan cinta itu datang dan kapan ia pergi, kita pun tidak bisa mengira di mana cinta bisa kita temukan saat kita menginginkannya.

Sheeta, kamulah cinta pertamaku dan aku yakin ini cinta terakhir bagiku.

Sheeta yang baik, jika aku tidak datang lagi ke tokomu, bukan berarti aku menjauhimu, apalagi melupakanmu. Tidak Sheeta. Karena memang aku tidak sanggup lagi berjalan ke luar rumah.

Selama ini aku mencoba untuk tegar menghadapi musibah ini. Empat tahun lebih aku bergantung dengan obat, empat tahun lebih aku bergulat dengan "  si biang kerok" kanker yang telah menggerogoti otakku yang saat ini sudah mencapai stadium IV B.

Sheeta yang baik, saat kutulis surat ini aku memaksakan jemari tanganku menorehkan huruf-huruf ungkapan hati di atas kertas ini, karena aku mulai merasakan betapa dahsyatnya rasa sakit di kepalaku ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku yakin waktuku tidak lama lagi.

Sheeta yang baik, aku titipkan surat ini pada Pak Kusnin sopirku, untuk disampaikan kepadamu.

Bila kau baca surat ini, artinya aku telah pergi jauh...jauh sekali, dan aku sendiri tidak tahu kemana tujuanku setelah ini.

Oh ya, kaset-kaset itu masih belum pernah kubuka bungkusnya, karena setelah aku beli darimu, langsung aku masukkan dalam almari.

Dear Sheeta, jaga diri baik-baik. Selamat tinggal sayang.


Aku yang selalu mencintaimu.

Ramadhani.

------------


"Mas, padahal di dalam bungkusan-bungkusan kaset itu selalu ada kartu namaku, dan bunyinyapun selalu sama ( -Hai mas, apakah anda memiliki getaran yang sama dengan diriku ini. Maukah jadi pacarku?)" kata gadis itu sambil menangis tersedu.
"Maafkan aku mas, bukannya aku tidak mau menghubungimu. Aku selalu tidak berani menyapamu terlebih dahulu. Aku nervous, mas. Maafkan aku."



Sekedar Renungan : Kisah Nenek Pemungut Daun

oleh Harry Suryo pada 01 September 2010 jam 7:57

Di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid.

Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapu sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.” Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kyai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.“

Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura yang bernama Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur.

(kisah ini dituturkan oleh Kang Jalal, n copy paste from mukjizat sholat dan doa's agus syafii)

Song of the Sea 3

Malam di Raja Ampat

oleh Harry Suryo pada 20 September 2010 jam 18:53


Ketika sinar rembulan malu-malu
menembus gelombang dan celah batu karang
angin berdesir, membuat senyummu telanjang
lugu, lepas puas seakan tak mau berakhir
bergumul pasir Raja Ampat yang memikat.

Ketika bintang dan kunang-kunang
membias cahaya lembut dalam gelap
dendang bocahmu tak juga berhenti
begitu pun bayanganmu seakan terpaku tak mau pergi
dari pulau-pulau perawan yang menawan ini.

Pulanglah, gadisku!!,
malam sudah tiba...
laut pun tak menyisakan warna
moluska dan hamparan terumbu entah kemana,
cendrawasih merah pun tak lagi menari
pamer bulu-bulu indah kesana- kemari.

Pulanglah, gadisku!!,
malam sudah larut...
bukankah lekuk-lekuk dasar laut
telah berjanji untuk kita selami besok pagi?

Pulanglah, gadisku!!,
ucapkan:
Selamat tidur Pulau Sorga. Selamat malam Papua.

Rabu, 30 Maret 2011

Negeri Sang Pemimpi








Negeriku sebuah harmoni,
orkestra hati nurani anak negeri.
Meski alat musik beda, irama berpadu rapi
mengalun teduh dan pasti,
bukannya irama saling cerca, adu kepal
dan mau menang sendiri.

Negeriku bukan negeri abu-abu,
yang selalu ragu dan mudah tertipu,
hingga tak mengerti isyarat
mana kemerdekaan semu,
mana jaman kalabendhu.

Negeriku bukan sampah
juga bukan negerinya coro-coro serakah
 benalu bedebah,
yang tak peduli rakyat serba susah
atau hamparan sawah tikus-tikus koruptor
yang beringas, rakus dan kotor.

Negeriku punya nyali dan harga diri,
hingga tak ada negeri lain yang berani
mencabik-cabik kehormatan bangsa kami,
Negeriku, gemah ripah loh jinawi,
Negerinya sang pemimpi,
karena " Tan na dursila durjana,
padha martobat nalangas,
wedi willating nata,
adil asing paramarta,
bumi pethik akukutha,
parek lan kali Katangga,
ing sajroning bubak wana,
penjenenganin sang nata.*)" 


*) Tidak ada penjahat,
semuanya sudah bertobat,
takut dengan kewibawaan
sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.

Ilustrasi apa yang terjadi pada masa Kalabendu sangat mirip dengan apa yang sedang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini. Pertanda zaman sama sekali belum terlihat tanda-tanda bahwa kita memasuki zaman Kalasuba yaitu suatu periode setelah zaman Kalabendu berakhir (seperti yang di prediksi oleh Jayabaya).

Song of the Sea 2

Oleh Harry Suryo · 22 Desember 2010

Mother love
Nothin' wrong with me
Mother love
Come and let me see
Mother love
Just leave me alone
Mother love
Now I'm dead and gone
Mother love
Never let me see
Mother love
Never let's me be
Mother love
Took my life away
Mother love
Hate me every day
Mother love
Take away my pain
Mother love
Make me go insane
Mother love
There is no such thing
Mother love
Hate is everything.

Tepuk Tangan

oleh Harry Suryo pada 04 Juni 2010 jam 7:31



Beberapa waktu yang lalu, seorang aktor kondang mengajak istri dan anak tunggalnya berlibur di sebuah kawasan peristirahatan yang terpencil di ujung Papua Tengah. Di sana mereka benar-benar bisa menikmati waktu pribadi sekeluarga dengan bebas. Tak ada dering telepon tengah malam, tidak ada kejaran mikrofon para wartawan, serbuan penggemar yang minta tanda tangan atau mengajak foto bersama.

Suatu malam, mereka memutuskan untuk nonton film. Gedung bioskop satu2nya di kota itu nampak tak terawat dan sepi. Tidak masalah, namanya juga kota kecil. Namun yang mengagetkan adalah sambutan tak terduga dari para penonton ketika mereka memasuki bioskop. Ke-12 orang penonton yang sudah ada dalam gedung tersebut langsung berdiri dan bertepuk tangan menyambut kedatangan mereka.

"  Oh...tak kusangka."  ujar aktor tersebut kepada istrinya sambil membalas lambaian tangan penonton, "  di kota terpencil ini masih ada penggemar yang mengenali kita".

Salah seorang penonton yang duduk di barisan depan tiba2 mendekati sang tokoh dan menjabat tangannya. "Saya tidak kenal siapa diri Anda, yang jelas saya amat gembira Anda dan keluarga muncul,"  katanya. "  Bioskop ini hanya buka sekali dalam sebulan. Manajer mengatakan kalau jumlah penonton kurang dari 15 orang, ia tidak akan memutar filmnya. Padahal sudah berminggu-minggu saya kepingin menyaksikan film ini. Oke, terima kasih atas kehadiran Anda malam ini".




Nenek dan Sapu Ijuk

 

oleh Harry Suryo pada 13 Juli 2010 jam 15:48

Suatu hari setelah saya selesai makan dari sebuah warung soto ayam di dekat pasar Dargo, saya melihat seorang nenek renta yang berpakaian lusuh layaknya seorang pengemis. Dia duduk bersimpuh dengan merangkul tiga ikat sapu ijuk.

Merasa iba, saya menyodorkan selembar kertas ribuan rupiah. Tapi si nenek itu dengan rona wajah kecewa menggelengkan kepala. Saya mencoba memberikan uang tersebut ke genggamannya, sekali lagi dia menolaknya. Saya jadi bengong sendiri, kenapa si nenek ini, apakah pemberianku kurang.

Dari dalam warung keluar si pemilik, dia menghampiriku sambil berbisik, "  Mas, nenek ini bukan pengemis, tapi dia penjual sapu."

Saya mendekati nenek itu, "  berapa harga sapu ijuk ini, nek?"  tanya saya. "  Setunggalipun sewu gangsalatus, nak"   jawab si nenek.

"  Saya beli semuanya, nek", sambil menyodorkan uang lima ribuan rupiah.

Terdengar lirih suara gumamannya, "  Ya Allah Gusti, sepeser pun saya nggak punya kembaliannya."

Sudah nek, kembaliannya buat nenek saja,"  sahutku.

"  Tidak, nak. Terima kasih. Saya tukarkan dulu ya",  sambil tertatih dia pergi melangkah ke sebuah warung rokok untuk menukarkan uang pemberianku itu.

Tidak berapa lama, dia kembali sambil memberikan uang lima ratus rupiah sebagai kembaliannya.
"  Monggo nak, uang kembaliannya."

"  Ini sapu buatan saya sendiri, semoga awet untuk dipakai, nak."

Akhir cerita, silakan Anda menyimpulkan sendiri.


 ___________________


Memesan Hujan

oleh Harry Suryo pada 13 Juni 2010 jam 11:01



Orang yang pintar dengan wawasan luas, sering menjadi tempat bertanya bagi mereka yang berada di sekitarnya, begitupun mereka yang tahu tentang banyak hal. Sebaliknya, mereka yang sok pintar atau sok tahu, acap kali malah menjengkelkan lingkungannya.

Seorang pemilik sebuah minimarket yang sedang berdiri di dekat kasir mendengar salah seorang penjaga toko terlibat pembicaraan dengan seorang pembeli. "  Memang, Bu, sudah beberapa minggu ini tidak ada. Tampaknya masih lama datangnya, mungkin memang belum musimnya."

Karena jengkel dengan apa yang baru saja didengarnya, si pemilik toko lari mengejar pembeli tadi yang sedang berjalan ke luar toko. Dengan penuh sopan santun ia berkata, "  Maaf, Bu, yang baru saja dikatakan pegawai saya itu tidak benar. Tentu kita akan segera mendapatkan apa yang Ibu inginkan. Kami sudah memesannya beberapa minggu yang lalu..."

Setelah masuk kembali, ia segera menarik lengan penjaga toko dan menghardiknya, Jangan sekali-kali mengatakan kepada para pelanggan bahwa kita tidak mempunyai sesuatu. Kalau kebetulan barang yang diinginkan pembeli tidak ada, katakan saja bahwa kita sudah memesannya dan pesanan itu pasti akan segera datang. Tahu kamu!!!"  Aneh yang dimarahi hanya melongo.
"  Heh! Kamu mengerti atau tidak?"
Si penjaga tetap saja bengong.
"  Omong-omong, apa yang dibicarakan pembeli tadi?"
"  Soal hujan,"  jawab si pegawai toko itu.



 ___________________



MANUSIA ITU PENTING!!!



Minggu siang di sebuah mal, seorang bocah lelaki berumur tidak lebih dari delapan tahun berjalan menuju ke sebuah gerai tempat penjual es krim. Karena pendek, ia terpaksa memanjat untuk bisa "melihat" si pramusaji. Penampilannya yang lusuh sangat kontras dengan suasana ingar-bingar mal yang serba wangi dan indah.

"  Mbak, sundae cream harganya berapa?"  tanya si bocah.

"  Lima ribu rupiah,"  yang ditanya menjawab.

Bocah itu kemudian merogoh recehan duit dari kantungnya. Ia menghitung recehan di telapak tangan dengan teliti. Sementara si pramusaji menunggu dengan raut muka tidak sabar. Malklum, banyak pembeli yang lebih " berduit"  ngantre di belakang pembeli ingusan ini.

"  Kalau Plain Cream berapa?"

Dengan suara ketus setengah melecehkan, si pramusaji menjawab, "Tiga ribu lima ratus."

Lagi-lagi si bocah menghitung recehannya. "  Kalau begitu saya mau sepiring plain cream saja, Mbak,"  kata si bocah sambil memberikan uang sejumlah harga yang diminta. Si pramusaji pun segera mengangsurkan sepiring plain cream.

Beberapa waktu kemudian, si pramusaji membersihkan meja dan piring kotor yang sudah ditinggalkan para pembeli. Ketika mengangkat piring es krim bekas dipakai bocah tadi, ia terperanjat. Di meja itu terlihat dua keping uang logam lima ratusan serta lima keping recehan seratusan yang tersusun rapi. Ada rasa penyesalan tersumbat di kerongkongan. Si pramusaji tersadar, sebenarnya bocah tadi bisa membeli sundae cream. Namun, ia mengorbankan keinginan pribadi dengan maksud agar bisa memberikan tip bagi si pramusaji.

Pesan moral : setiap manusia di dunia adalah penting. Di mana pun kita wajib memperlakukan orang lain dengan sopan, bermartabat dan penuh hormat.



_______________


Imaji Luar Jendela

oleh Harry Suryo pada 26 Juni 2010 jam 17:00





Dua orang pasien dirawat dalam sebuah kamar rumah sakit. Di kamar itu hanya ada satu jendela. Aji yang menderita penyakit paru-paru kronis menempati ranjang dekat jendela. Setiap siang ia boleh duduk satu jam untuk mengeringkan cairan dari paru-parunya. Sementara Sobri penghuni ranjang lain, harus berbaring sepanjang waktu akibat penyakit saraf punggung. Setiap hari mereka saling menghibur dengan bertukar cerita serta pengalaman hidupnya masing-masing.
Setiap kali Aji duduk menghadap jendela, ia selalu menceritakan apa saja yang dilihatnya di luar sana kepada rekan sekamarnya. Bahwa jendela itu menghadap taman di tepi danau.Air danau yang jernih itu sesekali berpendar-pendar indah lantaran gerakan kaki-kaki kawanan angsa yang berenang hilir mudik. Sambil memejamkan matanya Sobri membayangkan betapa indahnya pemandangan itu. Setiap hari cerita selalu berganti-ganti, sehingga Sobri sangat terhibur. Meski hanya satu jam, semua itu mampu memperkaya batinnya. Tiba-tiba pikiran jahat melintas di benak Sobri. Mengapa temannya saja uang boleh melihat indahnya dunia, sementara dirinya tergolek tak berdaya. Ini tidak adil!
Sejak saat itu hari demi hari pikiran Sobri dihantui rasa iri. Ia bertekad suatu saat harus berada di dekat jendela. Malam itu Aji batuk-batuk. Cairan bercampur darah keluar dari mulut dan hidungnya. Nafasnya terengah menahan rasa sakit. Di keremangan malam, Sobri melirik betapa sang teman sedang bertarung melawan maut. Toh, si Sobri tak tergerak sedikit pun meraih tombol bel untuk memanggil perawat. Padahal, ia sangat bisa melakukannya. Tidak sampai lima menit, bunyi batuk-batuk hilang. Suasana kamar yang gelap itu senyap.
Pagi harinya, perawat terkejut mendapati Aji sudah tak bernyawa. Sobri kemudian minta ranjangnya dipindahkan ke dekat jendela. Siang itu, sambil menahan separuh badannya dengan siku tangan, Sobri berusaha mendongakkan kepala menengok ke jendela. Keinginannya tercapai, melihat dunia luar yang selama ini hanya dibayangkan. Apa yang tampak? Ternyata hanya sebidang tembok lusuh. Penasaran ia bertanya kepada Perawat, mengapa Aji bisa mereka-reka aneka macam cerita dari jendela ini. "Bapak tahu enggak? Sesungguhnya, Pak Aji itu buta. Barangkali ia sengaja melakukan itu untuk menghibur Anda."