Kalau membeli arang kayu, lebih baik membelinya dari orang Samin, demikian waktu masih kecil saya diingatkan oleh si Mbok. Kenapa? Karena orang Samin tidak pernah bohong. Kalau mengatakan arangnya kosambi, tentu kosambi. Kalau kurang baik tentu terus terang bilang kurang baik. Kenapa mereka tidak pernah bohong? Ya karena mereka orang Samin, jelas si Mbok.
Sampai sekarang si Mbok masih tinggal di daerah Pati dan masih menyeterika dengan arang. Dari si Mbok, saya tidak pernah mendapat penjelasan mengapa orang samin tidak pernah bohong.
Baru ketika saya mendapat kesempatan menemani Kanjeng Ndoro Mengi, tuan saya, mengunjungi temannya di sebuah desa di sekitar Kayen, lebih kurang 30 km dari Kota Pati. Setelah Kanjeng asyik dengan temannya, saya minta izin keluar jalan-jalan. Hingga saya berjumpa dan alam-alaman dengan Kepala Desa (Lurah) di sana, saya mencoba menanyakan tentang keberadaan masyarakat Samin.
Ceritanya begini, dulu, sesudah ratusan tahun menggunakan orang-orang Cina sebagai perantara, barulah sejak waktu Tanam paksa kaum kolonialis belanda betul-betul mengadakan kontak langsung dengan penduduk petani pribumi. Untuk mengadakan reformasi Belanda menggunakan metode penekanan dengan mengadakan sanski-sanksi ekonomi dan paksaan-paksaan kekerasan.
Kejadian ini justru menumbuhkan kesadaran p[etani-petani pribumi dengan makin banyak beban-beban berupa pajak dan kerja paksa. Reaksi yang timbul umumnya bersifat spontan, kadang-kadang tanpa pemimpin dan tidak terpengaruh oleh faham-faham nasionalisme yang pada waktu itu sudah mulai berkembang. Reaksi dan perlawanan mereka ada yang bersifat pasif (tanpa kekerasan) ataupun aktif (dengan kekerasan).

Dasar Utama dari gerakan ini adalah keinginan para petani untuk dibiarkan mengurus hidup mereka tanpa campur tangan pemerintah Kolonial. Mereka ingin kembali ke bentuk organisasi sosial yang komunal di mana semua adalah milik bersama dan tidak ada milik pribadi.
Pengikut gerakan ini menolak membayar pajak atau melakukan kerja paksa dan mereka berusaha menghindari kontak dengan aparat-aparat pemerintah kolonial. Faham ini kemudian makin jauh berkembang dengan menolak segala sesuatu yang datang dari kebudayaan Barat. Gerakan ini menarik banyak pengikit sehingga Belanda menganggapnya berbahaya.
Ketika tahun 1907, Samin dan delapan pemimpin lainnya ditangkap dan dibuang, gerakan ini ditaksir mempunyai pengikut 3000 kepala keluarga. Sekalipun pemimpin-pemimpinnya dibuang, faham Samin ini terus berkembang. Dan sekalipun dasar dari faham ini adalah tanpa kekerasan, terjadi juga perlawanan-perlawanan bersenjata di tahun 1914 di daerah Pati. Dengan kekuatan senjata Belanda berhasil memadamkan perlawanan ini dan pemimpinnya yang bernama Pak Karsiyah ditangkap dan dibuang tahun 1917. Karena menyadari bahwa mereka tidak berdaya melawan kekuasaan Belanda, para petani menjalankan taktik tanpa kekerasan dengan jalan menutup masyarakat mereka, bersikap masa bodoh dan menjauhkan diri dari budaya Barat.
Karena mengisolir diri selama puluhan tahun menyebabkan pengikut faham Samin, yang biasa disebut “wong (orang) Samin”, mempunyai cara hidup dan istilah-istilah sendiri-sendiri. Kartodiharjo, orang Samin yang hari itu saya temui adalah pengikut faham Samin yang sudah jauh berkembang dan ternyata sama sekali tidak tahu dasar-dasar atau alasan timbulnya gerakan Samin.
Sikap pasif mereka yang mula-mula ditujukan kepada pemerintah penjajah Belanda kemudian berkembang menjadi sikap pasif yang membabi buta terhadap kekuasaan atau pemerintah apapun.
Mereka menyederhanakan hidup mereka berdasar apa yang dianggap bermanfaat. Mereka membuang segala macam upacara yang berlebih-lebihan yang umum terdapat pada masyarakat jawa. Isolasi mereka bukan isolasi yang ketat dan mereka hisup bersama dalam suatu masyarakat besar dengan penduduk lain yang bukan pengikut faham Samin. Gerakan Samin dengan demikian lebih merupakan suatu sikap hidup sosial.
Sistem komunal mereka dapat dilihat dari istilah “melu nganggo”, misalnya salah seorang dari mereka yang kebetulan kehabisan beras, maka ia dapat mendatangi tetangganya dan ikut memakai beras tetangganya. Demikianlah terdapat istilah=istilah : ikut memakai bajumu, ikut memakai kerbaumu dll. Uang tidak berarti di antara mereka sendiri. Uang (kertas) yang mereka sebut dengan “dluwang etungan” (kertas hitungan) hanya mereka pakai untuk bertransaksi dengan orang luar.
Selepas siang saya mulai memasuki daerah tempat tinggal mereka yang terpisah cukup jauh dengan permukiman penduduk lainnya.
Dengan basa-basi seperlunya saya memperkenalkan diri kepada tuan rumah yang pertama. Saya memakai bahasa Jawa ngoko karena mereka hanya mengenai dan memakai bahasa ngoko berdasarkan anggapan bahwa semua orang sama tingkatannya. Untuk panggilan saya memakai panggilan yang mereka pakai yakni lur (sedulur=saudara). –Siapa nama (bahasa Jawa: jeneng) saudara? – Lanang (lelaki), jawabnya. Saya keheranan. –Lha, kalau nama anak-anak saudara? –Ya lelaki dan wanita! Pertanyaan saya ulangi dan jawabannya ya itu-itu saja.Untung pak Lurah ikut masuk dan buru-buru memberi penjelasan. Ternyata jeneng menurut pengertian masyarakat Samin adalah jenis kelamin, sedang istilah untuk nama ialah jeneng pengaran (nama panggilan). Urusan nama selanjutnya gampang.
Sekarang soal buta huruf. Ketika saya tanya –Saudara dapat menulis? Tidak ada jawaban, malahan yang ditanya kelihatan bingung. –Saudara dapat menulis?, pertanyaan saya ulangi. Dengan ragu-ragu tuan rumah menjawab: - Bisa saja.
Saya menyodorkan kertas dan pensil sambil memintanya menulis sesuatu. Tetapi sang tuan rumah diam saja. –Lho, katanya dapat menulis, coba sampeyan menulis. Barulah dengan tertegun-tegun dia menjawab: -Wah nulis tidak pantas dilihat orang, tetapi hasilnya dapat dilihat, katanya sambil menunjuk anak-anaknya.
Sekarang ganti saya yang bingung. Baru kemudian pak lurah yang selama ini senyum-senyum mendekat dan berbisik pada saya. Karena nulis dalam istilah Samin ternyata berarti hubungan seks. Pantas dia tadi menunjuk anak-anaknya sebagai bukti...
Jadi bagaimana cara saya untuk mengetahui mereka buta buruf atau tidak. Terpaksa minta tolong pak lurah lagi. _oh, kalau yang dimaksud menggambar rengkong, wah itu tidak dapat, jawab tuan rumah kemudian.
-Apa itu rengkong?, tanya saya pada pak lurah. – Ireng bengkong (hitam bengkok)!
Karena huruf umumnya bengkok dan berwarna hitam, mereka mengistilahkan tulisan menjadi rengkong.
- Anak-anaknya disekolahkan? – Disekolahkan?, ia balik tanya. – Itu belajar bersama dengan anak-anak lain di sekolah, saya mencoba menjelaskan. –Oh, tentu saya sekolahkan ! – Dimana? Tanya saya. Jawabnya : - Saya sekolahkan sendiri saja, disuruh nimba, cari kayu, membantu di sawah, nyibini kebo.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar