Anak Zaman
oleh Harry Suryo pada 07 April 2010 jam 17:13
kutinggal lekas ruang berserak kertas,
yang penuh torehan tinta peristiwa,
hidup dalam dua dunia sungguh menjemukan
antara tradisi dan situasi
sering tak kompromi
Akulah si anak zaman
yang mencoba lepas ke alam bebas...
Lelah lunglai di simpang zaman.
Antara besok dan masa lalu cuma abu-abu.
Tak hanya itu, sekarangpun tak tahu mengapa harus itu,
sementara perjalanan sejauh anak panah yang terlepas,
tak tahu kemana arah, terserah tangan yang melepas
dan mengapa harus itu...
Lusuh kaki di simpang zaman.
Setelah berjuta langkah kulalui jalan yang panjang,
berkawan padang-padang hipokrit,
dan keculasan berbukit-bukit,
sedang aku tetap basahi diri dengan peluh kebanggaan.
Wahai sang masa,
biarkanlah obsesiku berhenti bersama kejenuhanku,
bersama hujan yang salah,
bersama malam yang timpang,
bersama mendung yang menggunung;
dalam perjalananku yang melelahkan ini,
atau aku harus bergumul dengan mimpi yang mengkristal,
tanpa harmonisasi raga dan iman.
Wahai sang waktu,
jika bisa kuputar-balikanmu,
segera kutemui ibuku,
yang menimangku dengan hati alam
menaburkan keberanian bukan kebencian
yang mendendangkan kasih sayang
bukan suara dendam.
Wahai sang zaman,
biarkan gerak motorik syarafku berpacu
menghentikan tarian syahwat kebendaan
yang sekian lama membiusku,
karena kutahu sudah sampai batas waktuku
menuju peraduan pertemuan dengan-Mu, Ya Robb,
dengan segenap keikhlasanku.
____________
Sebuah malam
oleh Harry Suryo pada 21 Maret 2011 jam 20:03
Beginikah sebuah malam,
membiru tanpa warna keindahan
hanya rembulan sepi tapi bukannya menanti
hening tapi ada sesuatu yang kering
seakan waktu tanpa kaki
merayap tak bisa lari
bukannya keputus asaan,
tapi imaji yang berbatas
entah menuju pagi
atau justru kegelapan abadi...
____________
Secangkir Kopi Harmonie
oleh Harry Suryo pada 10 Januari 2011 jam 20:14
Duduk dengan senja,
aku di teras ubin abu-abu Hotel Du Pavillon,
menikmati angin aloon-aloon
yang ayunkan pucuk-pucuk daun kenari
berlenggok gemulai penari kabaret Societeit Harmonie.
Duduk dengan senja,
dan kumandang adzan maghrib Masjid Kaoeman,
aku terhanyut dalam pijar lampu pendopo Kanjengan
mulainya sebuah konser lugu
kelit lidah tukang obat dan atraksi akrobat penjual jamu.
Duduk dengan senja,
di luar pagar tenggara menderu kotak besi berlari
melintas Irem menuju Wilhelminaplein, Bulu dan Randoesari,
membawa kemesraan sinyo dan noni
yang mengukur jalan kota tanpa peduli.
Duduk dengan senja,
di sebuah jalan sudah terasa hingar bingar rumah bola,
kemewahan Javastores
dan restoran "Oen"
dengan "tutti frutti" yang manis dan anggun.
Duduk dengan senja,
sepinya Pasar Johar
lalu lalangnya sepeda dan dokar
yang berjalan rapi tanpa berjajar
kureguk secangkir kopi harmonie
akankah romantisme dan keluguan ini
akan berulang seabad lagi?
____________
oleh Harry Suryo pada 10 April 2010 jam 11:55
Berjalan di setiap mimpi,
buat apa aku di sini
dalam sendiri dengan kabut karatan.
Sepanjang jalan yang kususuri hanya sosok remang.
Tak ada lagi gelak canda di Societeit Harmonie,
hingga romantisme Wilhelmina-plein yang sepi.
Kutulis setiap pintu dari seribu
dengan lumut-lumut basah,
agar menghijau kota tanpa wajah.
Namun pojok selatan Bodjongseweg
masih saja gelisah dan meranggas.
Kalau bisa memutar waktu
kuingin menyapa setiap rinduku
pada beratus bulan yang lalu :
keteduhan pohon asam,
keramahan tukang cukur peloran,
keramaian alun-alun pasar Johar,
keluguan penjual tahu di pecinan.
Kalau bisa hentikan waktu
kuingin mengajakmu berjalan semalaman
dari pasar malam van Schietterein,
hingga kemesraan di Pathe Theatre
sampai akhirnya kamu memilih Du Pavilion atau Indische Villa
untuk bermain cinta.
____________
oleh Harry Suryo pada 06 April 2010 jam 22:19
Merajut angin pinggiran Paradeplein
seolah mengepang rambutmu
dengan satu genggaman tangan
sedang rambutku sendiri belum bisa kusisir.
Memunguti bayangan gedung-gedung kelabu
sepanjang Hereenstraat
dalam redup lampu
begitu lengang berpenghuni batu.
Berdiri aku di pojok jalan berpaving
di depan rumah tembok yang hampir puing.
lengang dan tak menyedapkan.
Hai, jendela-jendela tua,
di manakah pintu itu?
biarkan aku masuk
untuk memutar balik sang waktu
agar kurasakan kesejukan masa lalumu...
Hai, jendela-jendela tua,
mengapa diam, sedang aku mau bicara,
di sini pengap dalam keterasingan zaman,
jarak dan waktu terlalu lama menahan rinduku,
pada keteduhan pohon asam,
pada harumnya aroma kopi Du Pavilion,
pada cintaku yang telah melupakan aku.
____________
oleh Harry Suryo pada 27 Maret 2010 jam 15:12
Sungguh jiwaku luka,
juga liar mataku merahkan langit utara.
Aku lahir dari rahim samudera.
Akulah panglima lautan segala penjuru.
O, Tuhan biarkan aku jadi diriku sendiri,
sampai aku hilang lenyap nanti.
Biarkan manusia-manusia mencampakku,
karena sesungguhnya akulah yang manusia itu,
yang berdiri kokoh di atas hancuran tembok nurani yang sekian lama mati.
Biarkan dadaku memberi ruang untuk berteriak lantang,
siapa yang membuat darahku menjalang kekesalan.
Mereka atau mereka...
Di atas puing-puing dinding,
aku duduk di atas kudah yang lama terbaring.
Dengan sekali hentak kini melonjak jalang meringkik nyaring,
tanpa sayap mau terbang, tanpa nyali mau lari,
sedang di hadapan masih penuh kawat duri.
...dan aku tetap melepas diri dari ruang sempit ini
menderu pacu kudaku
di hamparan padang dang buki-buki,
pusaran badai dan lintasan langit
agar hatiku yang sakit
tidak semakin sakit.
agar dadaku yang luka
tidak semakin menganga
tertusuk pedang zaman
yang semakin tajam dam kejam.
____________
HUJAN
Hujan kali ini tidak membawa pelangi
seperti murai kagumi fajar dan linang embun pagi.
Sedang awan tak lagi mendung
apakah bidadari ingkar janji
pada bumi bertebal daki.
Hujan kali ini tak membawa pelangi
hanya semburat warna jingga mentari
yang mengintip manja
pada sebuah kelelahan jiwa.
Aku yang berjalan di tepi mimpi
tak lagi melihat indahnya sepi
... dan semua berlalu begitu alami.
Hujan malam-malam,
tanah basah
kelambit hijau yang resah.
Jauhkan bara api dari tungkunya,
jika dingin jadikan kehangatan,
jika gelap jadikan kemesraan.
Jauhkan malam dari jelaga pengharapan,
jika ini suatu kepedihan yang tertunda,
jika ini firasat aku harus kembali
mengurai waktu dan jejak bersamamu.
____________
Inikah...
oleh Harry Suryo pada 09 Juni 2010 jam 19:36
Daun yang tak berpohon,
berserak di atas tanah
setelah angin hembuskan kesana kemari...
Teratai tanpa selaga,
sedang air tak bertelaga
pohon tak beranting,
sedang tanah tak berbumi
begitupun api menyala
sedang pelita tak bersumbu
Pelangi yang tak berhujan
sedang awan membawa gerhana bintang
Inikah suatu tempat tak bertulis
di mana air tak bisa lalu,
begitupun waktu
lenyap larut dalam gerak dan semu.
____________
Hening
oleh Harry Suryo pada 26 Mei 2010 jam 8:47
Tak ada matahari, tak ada rembulan,
tapi aku dalam kecerahan berbinar.
Tak ada musim, tak ada hujan,
tapi aku dalam kesejukan
Tak ada pelangi, aku bukannya tidak berwarna
Tak ada laut bukannya tanpa cakrawala.
Tanpa kebendaan, tapi aku dalam kekayaan
Tanpa mimpi, tapi aku dalam cinta
sepi bukannya mati
khusyuk bukannya suntuk.
Ada tapi tiada, tiada tapi ada.
Aku bersama Sang Pencipta
dalam pertemuan horizontal keikhlasan.
: Inilah keheningan yang sejati.
____________
oleh Harry Suryo pada 24 Mei 2010 jam 22:44
Saat mendampingi bumi
biarkan hembusan angin memintaku berdiri
dengan sekitarku
biarkan bukit gersang menuntunku
dengan kerinduan pada mimpi hijauku
biarkan pantai berpasir menidurkanku
dengan buih ombak berkilau
karena disinilah aku ada
dan di mana itu aku tinggali.
Saat mengejar matahari
biarkan aku dengan sekelilingku
yang membahagiakan aku,
yang mencintaiku dengan segala kepenatanku,
karena disinilah aku ada
dan dimana itu aku tinggali.
Saat melintas benua bebas
biarkan aku terbang lepas
dengan segala kehormatanku,
dengan semua yang membutuhkanku,
karena disinilah aku ada
dan dimana itu aku tinggali.
bukannya susunan batu bata merah,
dan dinding batu berlantai tanah,
bukannya susunan lantai berkarpet merah
dan dinding marmer rumah mewah
yang sekedar penghangat tubuh
dari dinginnya malam dan hujan
buat diriku sendiri.
_
___________
___________
Layung :
oleh Harry Suryo pada 21 Juni 2010 jam 10:38
Mengendus liar tebing mimpiku
masih saja hatimu pualam abu-abu,
dingin beku mengendap wajah gurat semu,
kau inginkan aku segera pergi,
tapi selalu saja kau mengundangku
untuk datang lagi.
Berharap cepat pagi
karena tak kan pernah ada malam lagi di sini.
Coba kau mengerti,
yang kau rangkai bukan melati,
tapi cempaka putih bukan tanda kasih,
hanya rindu gejolak yang salah pilih.
Siang tak jadi malam,
kalau cakrawala tak berlayung,
matahari tak bersalam siang,
bila tanpa pagi dan linang embun,
jangan biarkan cerita ini tak berujung.
____________
Apalah itu...
oleh Harry Suryo pada 13 Juni 2010 jam 11:24
Di ujung waktuku tak kutemui senjaku
biar cakrawala pudar
dan bianglala melengkung bagai pusar
tak nyenyakkah
atau sekedar resah
menunggu malam atau
menyongsong pagi tanpa mimpi
berkaca pada ombak
tanpa buihnya tanpa pasir pantainya
atau laut tak punya tepi
sedang cerminku telah lama retak
tapi cinta tak harus sampai di sini
atau kesendirianku kubawa mati
bukan hanya itu,
penantianku hanya semu
karena aku tidak bisa memutar-balikkan waktu.
Apalah itu...
____________
4 komentar:
Sejarah ternyata bukan saja soal angka-angka dan peristiwa di dalamnya.
Puisi mampu merekam jejak itu tanpa suara...
Makasih untuk kumpulan hati yang menyatat sejarah dalam guratan ini.
Salam dan doa.
Terimakasih atas atensi anda. Salam balik mas. Wish u all the best. Amin.
Very impressive, speak with your heart!!! I like it.
Very impressive...speak with ur heart? I like it
Posting Komentar